Permasalahan Pendidikan Matematika dan Alternatif Solusinya
Pendidikan
memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Sehingga pendidikan
merupakan sesuatu yang mutlak didapatkan oleh setiap individu. Karena
pentingnya pendidikan maka kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari
kualitas pendidikannya. Pembelajaran di sekolah merupakan suatu bagian
pendidikan yang penting untuk disoroti. Antara lain bagaimana proses
pembelajaran berlangsung, seperti apa guru mengajar di dalam kelas dan
aktifitas siswa di dalam kelas.
Matematika
merupakan salah satu ilmu pendidikan yang utama karena matematika
berperan dalam melengkap ilmu lainnya. Oleh karena itu pendidikan
matematika menjadi salah satu pusat perhatian kualitas pendidikan di
Indonesia sehingga munculah banyak upaya untuk memperbaiki kualitas
pendidikan matematika. Ketika berbicara mengenai pendidikan maka pembelajaran adalah hal yang paling berkaitan dengan pendidikan. Dalam
berlangsungnya proses pembelajaran sering sekali siswa menemukan objek
yang bersifat abstrak terutama dalam pembelajaran matematika dimana
abstrak merupakan salah satu karakteristiknya. Hal ini yang menyebabkan siswa
merasa kesulitan dalam memaknai hal-hal yang abstrak kepada kehidupan
nyata dan menyampaikan ide-ide dalam matematika baik secara lisan maupun
tulisan. Menurut Jenning dan Dunne (Caray, 2010) mengatakan bahwa, “kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real.”
Berdasarkan permasalahan diatas guru dapat memfasilitasi siswa dengan mengembangkan bahan ajar berpendekatan Realistic Mathematics Education (RME) yaitu dengan mengaitkan masalah matematika dengan lingkungan sehari-hari dan pengalaman nyata yang sering dialami sehingga siswa diajak berfikir bagaimana menyelesaikan masalah-masalah yang diberikan dengan menggunakan pendekatan yang tidak abstrak lagi.
Menurut Freudenthal (Diyah, 2007) kegiatan RME dalam pembelajarannya di kelas, dimulai dari masalah kontekstual dan memberi kebebasan kepada siswa untuk dapat mendiskripsikan, menginterpretasikan dan menyelesaikan masalah kontekstual dengan caranya sendiri sesuai dengan pengetahuan awal yang dimiliki. Proses penjelajahan, penginterpretasian, dan penemuan kembali dalam RME menggunakan konsep matematisasi horizontal dan vertikal, yang diinspirasi oleh cara-cara pemecahan informal yang digunakan oleh siswa.
Matematisasi horizontal, berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya bersama intuisi mereka digunakan sebagai alat untuk menyelesaikan masalah dari dunia nyata. Aktivitas yang dapat digolongkan dalam matematisasi horizontal antara lain: mengidentifikasi masalah, memvisualisasikan masalah dengan cara yang berbeda, mentransformasikan masalah dunia nyata ke masalah matematik, membuat skema,menemukan hubungan-hubungan dan keterkaitan,mengingat aspek-aspek yang serupa dalam masalah yang berbeda, merumuskan masalah nyata dalam bahasa matematika, dan merumuskan masalah nyata dalam model matematika yang telah dikenal.
Sedangkan matematisasi vertical berkaitan dengan proses pengorganisasian kembali pengetahuan yang telah diperoleh dalam simbol-simbol matematika yang lebih abstrak. Aktivitas yang merupakan matematisasi vertikal contohnya: merepresentasikan hubungan-hubungan dalam rumus, menyesuaikan dan menggunakan model matematik yang berbeda, merumuskan model matematik, menghaluskan dan memperbaiki model, memadukan dan mengkombinasikan beberapa model, membuktikan keteraturan, dan merumuskan konsep baru matematika.
Berdasarkan kedua jenis matematisasi ini, dibuatlah pengklasifikasi pendekatan pendidikan matematika. Menurut Treffers (Zulkardi, 2008) klasifikasi pendidikan matematika berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal dibagi ke dalam empat type:
1. Mechanistic,
atau ‘pendekatan traditional’, yang didasarkan pada ‘drill-practice’
dan pola atau pattern, yang menganggap orang seperti komputer atau suatu
mesin (mekanik). Pada pendekatan, baik horizontal dan vertikal
mathematization tidak digunakan.
2. Empiristic,
dunia adalah realitas, dimana siswa dihadapkan dengan situasi dimana
mereka harus menggunakan aktivitas horizontal mathematization. Treffer
mengatakan bahwa pendekatan ini secara umum jarang digunakan dalam
pendidikan matematika.
3. Structuralist, atau ‘Matematika modern’, didasarkan pada teori himpunan dan game yang bisa dikategorikan
ke horizontal mathematization tetapi di tetapkan dari dunia yang dibuat
secara ‘ad hoc’, yang tidak ada kesamaan dengan dunia siswa.
4. Realistic,
yaitu pendekatan yang menggunakan suatu situasi dunia nyata atau
suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap
ini siswa melakukan aktivitas horizontal mathematization. Maksudnya
siswa mengorganisasikan masalah dan mencoba mengidentfikasi aspek
matematika yang ada pada masalah tersebut. Kemudian, dengan menggunakan
vertical mathematization siswa tiba pada tahap pembentukan konsep.
Selain matematisasi, RME juga mempunya tiga prinsip umum yaitu:
1. Guided Reinvention,
yakni siswa perlu diberikan kesempatan untuk mengalami proses yang sama
sebagaimana suatu konsep matematika ditemukan. Siswa diberikan masalah
nyata yang memungkinkan adanya berbagai penyelesaian dan selesaian.
2. Didactical Phenomenology, yakni topik matematika disajikan berdasarkan aplikasi dan kontribusinya pada materi matematika selanjutnya.
3. Self-Developed Model, yakni siswa mengembangkan model sendiri pada saat menyelesaikan masalah nyata.
Menggunakan masalah nyata sebagai titik awal belajar, menerapkan model sebagai jembatan antara real dan abstrak.mengikut sertakan siswa dalam proses pembelajaran yang demokratis dan interaktif
merupakan ciri-ciri pembelajaran yang menggunakan pendekatan RME,
dimana karakteristik RME sendiri adalah sebagai berikut menurut
Mayferani (Najib, 2011):
1. Implementasi
real konteks sebagai titik tolak belajar matematika Dalam RME,
pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata) sehingga
memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung.
2. Implementasi
model yang menekankan penyelesaian secara informal sebelum menggunakan
cara formal atau rumus. Model yang dimaksudkan dalam hal ini adalah
model yang berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang
dikembangkan oleh peserta didik sendiri (self developed models). Peran self developed models adalah
jembatan bagi peserta didik dari situasi real ke situasi abstrak atau
dari Matematika informal ke Matematika formal. Artinya peserta didik
membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.
3. Menggunakan
produksi dan konstruksi Streefland menekankan bahwa dengan pembuatan
“produksi bebas” peserta didik terdorong untuk melakukan refleksi pada
bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar.
4. Mengaitkan
sesama topik dalam matematika Pengintegrasian unit-unit Matematika
dalam RME adalah essensial. Dalam mengaplikasikan Matematika diperlukan
pengetahuan yang lebih kompleks, tidak hanya aritmetika, aljabar, atau
geometri tetapi juga bidang lain.
5. Implementasi
metode interaktif dalam belajar Matematika Dalam RME, interaksi
antarpeserta didik dengan guru merupakan hal yang mendasar.
Bentuk-bentuk interaksi tersebut berupa negosisasi, penjelasan,
pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi yang
digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal
peserta didik.
Bedasarkan penjelasan diatas, Realistic Mathematics Education adalah pendekatan pengajaran yang bertitik tolak dari hal-hal yang 'real' bagi siswa, berdiskusi dan
berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat menemukan
sendiri dan pada akhirnya menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan
masalah baik secara individu maupun kelompok yang akan membantu siswa berfikir, mengkomunikasikan 'reasoningnya', melatih suasana demokrasi
dengan menghargai pendapat orang lain. Dengan RME juga siswa akan dapat
berfikir lebih real atau tidak abstrak lagi dalam menyelesaikan masalah
dan menerima materi matematika. RME merupakan salah satu solusi masalah
berfikir yang masih abstrak pada siswa dalam pembelajaran matematika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar